Keadaan sapi lokal Rancah dan sapi lokal
Cimerak terancam punah, karena pemerintah pusat Kementerian Pertanian,
untuk mencukupi kebutuhan akan daging sapi import mengalahkan produksi
daging sapi lokal. Melambungnya harga daging sapi merupakan kisah pilu
di negeri ini. Tidak hanya ibu rumah tangga, penjual bakso, sate, gepuk,
pengrajin abon daging sapi, resto steak, hingga industri makanan,
termasuk hotel.
Para Menteri di Kabinet, anggota DPR,
cukup dibikin pusing tujuh keliling, seolah tak mampu untuk menahan
harga daging sapi yang naik terus dan sulit turun. Hingga kini harga
daging sapi ditingkat penjual masih bertengger dikisaran Rp.95
ribu/kilogram, padahal harga normal dikisaran Rp.70 s/d Rp.80 ribu/kg.
Tidak habis pikir, kurangnya stok daging
sapi hingga banjirnya daging sapi import, disebut-sebut menjadi biang
keroknya. Dampak dari permainan sapi berjengkok (begitu istilah) di
masyarakat. Pemerintah pusat di semester dua ini, akan membebaskan bea
import daging sapi kelas premium.
Langkah ini dimaksud akan menurunkan
harga daging sapi di pasar lokal. Meskipun Asosiasi Pedagang Daging
Indonesia, meneggarai langkah ini tak akan efektif menurunkan harga
daging sapi. Koran HR koranan urang Ciamis-Banjar-jeung Pangandaran
melakukan investigasi soal keberadaan sapi lokal di Rancah dan Cimerak.
Wartawan HR Diki Haryanto Adjid mencoba menyelusuri perdaging sapian.
Bagaimana dengan stok daging di Jawa
Barat, maklum 70 persen konsumen daging sapi di Indonesia di dominasi
oleh Jawa Barat dan DKI Jakarta. Berdasarkan data Dinas Perternakan
Prov. Jabar pada 2010 jumlah populasi sapi di Jabar sebanyak 587,975
ekor. Sedangkan untuk stok ideal populasi sapi mencapai 750.000 ekor per
tahun. Saat ini, pertumbuhan produksi di Jabar hanya 6 persen per
tahun, sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan sapi konsumsi daging sapi
di Jabar.
Sementara sentra sapi sendiri hanya
mampu memasok 210.000 ekor sapi, untuk DKI Jakarta dan Jabar sepanjang
tahun ini. Sentral produksi sapi ada di NTT, NTB, Sulsel, Jatim, Jateng,
dan Bali. Pengembangan sapi lokal dijadikan pemerintah sebagai solusi
untuk keluar dari himpitan derasnya daging import. Ketergantungan inilah
yang menjadi beban para pengambil kebijakan untuk mengembang sapi
lokal. Benarkah pengembangan sapi lokal seperti sapi Madura, sapi Bali
dan sapi Rancah dan sapi Cimerak di Jabar baru disandiri karena adanya
sapi berjenggot. Kenapa tidak dari dulu?.
Anggota Komisi B, DPRD Jabar, Kusnadi
menambahkan, bahwa pihaknya akan mendorong pengembangan Sapi Rancah. Ini
bukan sekedar Ikon Jawa Barat, melainkan sebagai program untuk melepas
ketergantungan terhadap sapi impor.
“Bukan hanya sapi Rancah saja, kedepan Sapi Cimerak pun harus dikembangkan,” ujarnya.
Senada dengan Kusnadi, optimisme
pembudidayaan sapi lokal, gayung bersambut kata seorang Peternak, di
Dusun Buni Hilir, Desa Situ Mandala, Kecamatan Rancah, Kab. Ciamis,
bernama Dayat.
“Saatnya kita bangkit untuk memoles
warisan nenek moyang kita. Anugrah sapi rancah sungguh luar biasa. Sapi
Rancah ada di sekitar kita, tak sulit untuk membudidayakannya,” ungkap
Ketua Peternak Sapi Rancah Trijaya, saat dihubungi HR, Senin (22/4).
Dayat bertutur, warisan Sapi Rancah dari
leleuhurnya harus dijadikan kebanggan sekaligus lecutan untuk bisa
mendongkrak perekonomian peternak dan masyarakat sekitar.
“Apalagi Sapi Rancah mempunyai wilayah
pemasaran dan pembudidayaan di Tambaksari, Rancah, Cilacap dan
Tasikmalaya. Kami pun siap untuk berkomitmen mengembangkannya. Soal
bantuan permodalan dari pemerintah sangat kami nantikan,” ujarnya.
Menurut Dayat, dengan sapi rancah ini,
pihaknya kerap mendapat undangan ke berbagai daerah di Jawa Barat untuk
mempresentasikan soal pembudidayaan sapi Rancah. “Ini momentum yang baik
untuk segera membangkitkan sapi lokal,” katanya.
Soal harga, imbuh Dayat, sapi lokal
mempunyai perbedaan dengan sapi impor atau sapi silangan lainnya. “Jika
dihitung dari daging, perkilonya bisa selisih 2 ribu rupiah lebih mahal,
dibanding jenis sapi lainnya atau disebut silangan. Kalau sapi jenis
lainnya 68 ribu rupiah perkilonya, sapi rancah bisa mencapai 70 ribu
rupiah perkilonya, akan tetapi pasarnya bagus karena kualitas dagingnya
yang enak, konsumen sangat menyukainya,” imbuhnya.
Masih menurut Dayat, tantangan nyata
yang dihadapi para peternak sapi Rancah adalah bagaimana menaikan bobot
hidup. “Memang kalau membudidayakannya baik, bobot hidup bisa mencapai 6
Kuintal, otomatis bisa meningkatkan harga jual kami, karena di kisaran
bobot hidup 3-4 kuintal saja harganya mencapai 12-15 juta rupiah,”
ujarnya.
Lanjut Dayat, hingga kini populasi Sapi
rancah yang ada di wilayah Rancah dan Tambaksari berkisar 200 ekor sapi.
“Sudah kami komunikasikan dengan wilayah produksi dan pemasaran di
daerah lainnya untuk segera mengembangkan sapi Rancah. Selain untuk
mencegah kepunahan, peningkatan populasi akan mendorong stabilitas harga
jual sapi pula,” ujarnya.
Cerita tersebut seolah hilang begitu
dari memori publik. Namun bak petir di siang bolong, awal 2013 Indonesia
terguncang harga daging yang terus meroket hingga penghujung April 2013
ini. Sontak respon untuk mengembangkan sapi lokal di Jawa Barat,
khususnya bukan lagi untuk sekedar menyelamatkan kepunahan melainkan
untuk mengurangi ketergantungan. Tak urung Komisi B DPRD Jabar pun turun
ke lapangan. Termasuk Faperta Unpad pun tak ingin ketinggalan membantu program Swasembada daging sapi di Jawa Barat.
Anggota Komisi B, DPRD Jabar, H. E.
Kusnadi, mengatakan, bahwa sejarah sapi Rancah sangatlah memilukan,
namun kini optimisme tersebut seolah kembali pulih. “Bayangkan, di era
Gubernur Nuriana, Sapi Rancah saat itu rata-rata berbobot hidup 7
Kuintal, namun kini rata-rata berbobot 3 kuintal. Ini menjadi
keprihatinan kami, padahal keunggulan sapi ini luar biasa baik dari sisi
Karkas (kandungan daging minus tulang-red) yang mencapai diatas 50
persen. Ketahanan penyakit, efisiensi pakan, dan kepraktisan
pemeliharaan,” papar Kusnadi.
Kepala Dinas Peternakan Ciamis, Drs. H.
Wasdi, M.Si, didampingi Kabid Pengembangan dan Usaha Peternakan, Otong
Bustomi, SPt, M.Pt, kepada HR, Jum’at (19/4), mengatakan, bahwa pihaknya
akan mendorong para peternak untuk mengembangkan sapi Rancah.
“Bantuan otomatis ada, akan tetapi tidak
selamanya diukur dengan uang, bisa jadi berupa barang, seperti bibit
sapinya untuk dikembangkan. Yang jelas acuan program Propinsi akan
melakukan program pemuliaan untuk mendapatkan kualitas sapi rancah yang
baik,” ujarnya.
Wasdi mengatakan, bahwa mimpi untuk
meningkatkan populasi sapi Rancah adalah dengan cara meningkatkan
kualitas. “Otomatis kalau kualitas baik, kuantitas akan bertambah
seiring permintaan pasar, dengan begitu dorongan infrastruktur seperti
pasar hewan dan koordinasi dengan dinas, terkait infrastruktur dari
sentra ternak juga akan diperhatikan,” ucapnya.
Masih menurut Wasdi, soal permodalan pun
pihak peternak dihimbau untuk tidak khawatir, karena dengan permintaan
pasar yang tinggi, kepercayaan pihak perbankanpun akan mudah didapat.
“Baik KUR maupun KKP-E, optimis akan
terserap oleh peternak, dengan pasar yang tinggi secara teoritis Bank
akan memandang usaha ini visible atau layak untuk diberi kredit, selain
stimulus dari pemerintah berupa kebijakan bantuan,” ujarnya.
Berdasarkan penuturan dari makalah, Dedi Rahmat, anggota TIM Peneliti dari Faperta UNPAD, mengatakan, bahwa Sapi Rancah sebagai Plasma Nuftah
Jawa Barat memiliki keunggulan, antara lain, tahan terhadap cuaca
ekstrim, tahan terhadap penyakit tropis, efisien dalam pemeliharaan,
Kemampuan reproduksi dan memilki prosentase karkas yang unggul.
Masih bersumber pada makalah tersebut,
program pemuliaan sapi Rancah akan berhasil apabila ada dukungan
kebijakan dari pemerintah baik menyangkut program pemuliaan maupun
peningkatkan infrastruktur.
Dihubungi terpisah melalui telepon
selulernya, Senin (22/4), Asisten II Pemkab Ciamis, Bidang Ekonomi
Pembangunan, Drs. Sukiman, mengatakan, bahwa pengembangan Sapi Rancah
akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat peternak .
“Dari kacamata mikro ekonomi akan
meningkatkan daya beli yang otomatis akan meningkatkan kesejahteraan.
Bukan saja di kalangan peternak, melainkan masyarakat secara umum, sisi
tenaga angkutan, industry kuliner akan diberikan dampak pula oleh
pengembangan sapi Rancah ini di kemudian hari,” pungkasnya.
Bak pepatah mengatakan “gajah di pelupuk
mata tak terlihat, semut di sebrang lautan Tampak”. Inikah yang menjadi
gambaran betapa selama ini “mind Set” kedigdayaan sapi impor
mengungguli sapi lokal? Padahal “kilauan permata”sapi lokal Rancah,
sebagai warisan nenek moyang tak kalah unggul. Ataukah sapi Rancah
terendus karena sebuah upaya penyelamatan semata untuk plasma Nuftah
yang hampir punah? Ataukah juga karena himpitan dan deraan derasnya sapi
impor dan daging sapi impor yang kian menggila, sehingga membuat
pemerintah mengambil kebijakan mengembangkan sapi lokal Rancah?
Maklum saja Sapi Simental, Limousin,
Brahman, BX, PO, Aberden Angus, seolah akrab di telinga kita dibanding
sapi Madura, Sapi Bali bahkan Sapi Rancah dan sapi Cimerak yang dikenal
mempunyai Karkas diatas 60 persen, dengan ketahan terhadap penyakit yang
tinggi malah justru terabaikan.
Sapi lokal Rancah dan sapi Cimerak mulai
terendus kepermukaan, setidaknya para pengambil kebijakan di Pemprov
Jabar dan Pemkab Ciamis, pada saat Pesta Patok tahun 2012, di Desa
Wonoharjo Pangandaran, sepakat untuk menjadikan sapi lokal Rancah
menjadi ikon sapi Jawa Barat.
Kala itu, Kepala Bapeda Propinsi, Deny
Djuanda, yang mewakili Gubernur Jabar H. Ahmad Heryawan, mengatakan,
bahwa Sapi Rancah merupakan salah satu plasma nutfah yang perlu
dilestarikan. Untuk itu perlu upaya pengembangan secara maksimal.
Nantinya, sapi lokal yang sampai saat ini lebih banyak diberi pakan
alami tersebut, bakal menjadi salah satu ikon baru ternak Jabar.
Tak berhenti sampai disana, komitmen
tersebut ditindak lanjuti oleh Dinas Peternakan Kabupaten Ciamis, dengan
mengajukan sertifikasi pembibitan Sapi Rancah kepada Direktorat
Pembibitan Ternak Departemen Pertanian RI, meski pun hingga kini tak
diketahui hasil dari pengajuan tersebut.
“Tunggu proses saja dari pusat, yang jelas Pemprov sudah mendukung,” ungkap Kabid Produksi Disnak Ciamis, Yanto SPt, kepada HR. (DK)