Sabtu, 18 Mei 2013

SAPI LOKAL RANCAH KABUPATEN CIAMIS

Sumber HR
 
Bayangkan, di era Gubernur Nuriana, Sapi Rancah saat itu rata-rata berbobot hidup 7 Kuintal, namun kini rata-rata berbobot 3 kuintal. Ini menjadi keprihatinan kami, padahal keunggulan sapi ini luar biasa baik dari sisi Karkas (kandungan daging minus tulang-red) yang mencapai diatas 50 persen. Ketahanan penyakit, efisiensi pakan, dan kepraktisan pemeliharaan. Foto : Dicky Haryanto Adjid/HR.
Bayangkan, di era Gubernur Nuriana, Sapi Rancah saat itu rata-rata berbobot hidup 7 Kuintal, namun kini rata-rata berbobot 3 kuintal. Ini menjadi keprihatinan kami, padahal keunggulan sapi ini luar biasa baik dari sisi Karkas (kandungan daging minus tulang-red) yang mencapai diatas 50 persen. Ketahanan penyakit, efisiensi pakan, dan kepraktisan pemeliharaan. Foto : Dicky Haryanto Adjid/HR.
Keadaan sapi lokal Rancah dan sapi lokal Cimerak terancam punah, karena pemerintah pusat Kementerian Pertanian, untuk mencukupi kebutuhan akan daging sapi import mengalahkan produksi daging sapi lokal. Melambungnya harga daging sapi merupakan kisah pilu di negeri ini. Tidak hanya ibu rumah tangga, penjual bakso, sate, gepuk, pengrajin abon daging sapi, resto steak, hingga industri makanan, termasuk hotel.
Para Menteri di Kabinet, anggota DPR, cukup dibikin pusing tujuh keliling, seolah tak mampu untuk menahan harga daging sapi yang naik terus dan sulit turun. Hingga kini harga daging sapi ditingkat penjual masih bertengger dikisaran Rp.95 ribu/kilogram, padahal harga normal dikisaran Rp.70 s/d Rp.80 ribu/kg.
Tidak habis pikir, kurangnya stok daging sapi hingga banjirnya daging sapi import, disebut-sebut menjadi biang keroknya. Dampak dari permainan sapi berjengkok (begitu istilah) di masyarakat. Pemerintah pusat di semester dua ini, akan membebaskan bea import daging sapi kelas premium.
Langkah ini dimaksud akan menurunkan harga daging sapi di pasar lokal. Meskipun Asosiasi Pedagang Daging Indonesia, meneggarai langkah ini tak akan efektif menurunkan harga daging sapi. Koran HR koranan urang Ciamis-Banjar-jeung Pangandaran melakukan investigasi soal keberadaan sapi lokal di Rancah dan Cimerak. Wartawan HR Diki Haryanto Adjid mencoba menyelusuri perdaging sapian.
Bagaimana dengan stok daging di Jawa Barat, maklum 70 persen konsumen daging sapi di Indonesia di dominasi oleh Jawa Barat dan DKI Jakarta. Berdasarkan data Dinas Perternakan Prov. Jabar pada 2010 jumlah populasi sapi di Jabar sebanyak 587,975 ekor. Sedangkan untuk stok ideal populasi sapi mencapai 750.000 ekor per tahun. Saat ini, pertumbuhan produksi di Jabar hanya 6 persen per tahun, sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan sapi konsumsi daging sapi di Jabar.
Sementara sentra sapi sendiri hanya mampu memasok 210.000 ekor sapi, untuk DKI Jakarta dan Jabar sepanjang tahun ini. Sentral produksi sapi ada di NTT, NTB, Sulsel, Jatim, Jateng, dan Bali. Pengembangan sapi lokal dijadikan pemerintah sebagai solusi untuk keluar dari himpitan derasnya daging import. Ketergantungan inilah yang menjadi beban para pengambil kebijakan untuk mengembang sapi lokal. Benarkah pengembangan sapi lokal seperti sapi Madura, sapi Bali dan sapi Rancah dan sapi Cimerak di Jabar baru disandiri karena adanya sapi berjenggot. Kenapa tidak dari dulu?.
Anggota Komisi B, DPRD Jabar, Kusnadi menambahkan, bahwa pihaknya akan mendorong pengembangan Sapi Rancah. Ini bukan sekedar Ikon Jawa Barat, melainkan sebagai program untuk melepas ketergantungan terhadap sapi impor.
“Bukan hanya sapi Rancah saja, kedepan Sapi Cimerak pun harus dikembangkan,” ujarnya.
Senada dengan Kusnadi, optimisme pembudidayaan sapi lokal, gayung bersambut kata  seorang Peternak, di Dusun Buni Hilir, Desa Situ Mandala, Kecamatan Rancah, Kab. Ciamis, bernama Dayat.
“Saatnya kita bangkit untuk memoles warisan nenek moyang kita. Anugrah sapi rancah sungguh luar biasa. Sapi Rancah ada di sekitar kita, tak sulit untuk membudidayakannya,” ungkap Ketua Peternak Sapi Rancah Trijaya, saat dihubungi HR, Senin (22/4).
Dayat bertutur, warisan Sapi Rancah dari leleuhurnya harus dijadikan kebanggan sekaligus lecutan untuk bisa mendongkrak perekonomian peternak dan masyarakat sekitar.
“Apalagi Sapi Rancah mempunyai wilayah pemasaran dan pembudidayaan di Tambaksari, Rancah, Cilacap dan Tasikmalaya. Kami pun siap untuk berkomitmen mengembangkannya. Soal bantuan permodalan dari pemerintah sangat kami nantikan,” ujarnya.
Menurut Dayat, dengan sapi rancah ini, pihaknya kerap mendapat undangan ke berbagai daerah di Jawa Barat untuk mempresentasikan soal pembudidayaan sapi Rancah. “Ini momentum yang baik untuk segera membangkitkan sapi lokal,” katanya.
Soal harga, imbuh Dayat, sapi lokal mempunyai perbedaan dengan sapi impor atau sapi silangan lainnya. “Jika dihitung dari daging, perkilonya bisa selisih 2 ribu rupiah lebih mahal, dibanding jenis sapi lainnya atau disebut silangan. Kalau sapi jenis lainnya 68 ribu rupiah perkilonya, sapi rancah bisa mencapai 70 ribu rupiah perkilonya, akan tetapi pasarnya bagus karena kualitas dagingnya yang enak, konsumen sangat menyukainya,” imbuhnya.
Masih menurut Dayat, tantangan nyata yang dihadapi para peternak sapi Rancah adalah bagaimana menaikan bobot hidup. “Memang kalau membudidayakannya baik, bobot hidup bisa mencapai 6 Kuintal, otomatis bisa meningkatkan harga jual kami, karena di kisaran bobot hidup 3-4 kuintal saja harganya mencapai 12-15 juta rupiah,” ujarnya.
Lanjut Dayat, hingga kini populasi Sapi rancah yang ada di wilayah Rancah dan Tambaksari berkisar 200 ekor sapi. “Sudah kami komunikasikan dengan wilayah produksi dan pemasaran di daerah lainnya untuk segera mengembangkan sapi Rancah. Selain untuk mencegah kepunahan, peningkatan populasi akan mendorong stabilitas harga jual sapi pula,” ujarnya.
Cerita tersebut seolah hilang begitu dari memori publik. Namun bak petir di siang bolong, awal 2013 Indonesia terguncang harga daging yang terus meroket hingga penghujung April 2013 ini. Sontak respon untuk mengembangkan sapi lokal di Jawa Barat, khususnya bukan lagi untuk sekedar menyelamatkan kepunahan melainkan untuk mengurangi ketergantungan. Tak urung Komisi B DPRD Jabar pun turun ke lapangan. Termasuk Faperta Unpad pun tak ingin ketinggalan membantu program Swasembada daging sapi di Jawa Barat.
Anggota Komisi B, DPRD Jabar, H. E. Kusnadi, mengatakan, bahwa sejarah sapi Rancah sangatlah memilukan, namun kini optimisme tersebut seolah kembali pulih. “Bayangkan, di era Gubernur Nuriana, Sapi Rancah saat itu rata-rata berbobot hidup 7 Kuintal, namun kini rata-rata berbobot 3 kuintal. Ini menjadi keprihatinan kami, padahal keunggulan sapi ini luar biasa baik dari sisi Karkas (kandungan daging minus tulang-red) yang mencapai diatas 50 persen. Ketahanan penyakit, efisiensi pakan, dan kepraktisan pemeliharaan,” papar Kusnadi.
Kepala Dinas Peternakan Ciamis, Drs. H. Wasdi, M.Si, didampingi Kabid Pengembangan dan Usaha Peternakan, Otong Bustomi, SPt, M.Pt, kepada HR, Jum’at (19/4), mengatakan, bahwa pihaknya akan mendorong para peternak untuk mengembangkan sapi Rancah.
“Bantuan otomatis ada, akan tetapi tidak selamanya diukur dengan uang, bisa jadi berupa barang, seperti bibit sapinya untuk dikembangkan. Yang jelas acuan program Propinsi akan melakukan program pemuliaan untuk mendapatkan kualitas sapi rancah yang baik,” ujarnya.
Wasdi mengatakan, bahwa mimpi untuk meningkatkan populasi sapi Rancah adalah dengan cara meningkatkan kualitas. “Otomatis kalau kualitas baik, kuantitas akan bertambah seiring permintaan pasar, dengan begitu dorongan infrastruktur seperti pasar hewan dan koordinasi dengan dinas, terkait infrastruktur dari sentra ternak juga akan diperhatikan,” ucapnya.
Masih menurut Wasdi, soal permodalan pun pihak peternak dihimbau untuk tidak khawatir, karena dengan permintaan pasar yang tinggi, kepercayaan pihak perbankanpun akan mudah didapat.
“Baik KUR maupun KKP-E, optimis akan terserap oleh peternak, dengan pasar yang tinggi secara teoritis Bank akan memandang usaha ini visible atau layak untuk diberi kredit, selain stimulus dari pemerintah berupa kebijakan bantuan,” ujarnya.
Berdasarkan penuturan dari makalah, Dedi Rahmat, anggota TIM Peneliti dari Faperta UNPAD, mengatakan, bahwa Sapi Rancah sebagai Plasma Nuftah Jawa Barat memiliki keunggulan, antara lain, tahan terhadap cuaca ekstrim, tahan terhadap penyakit tropis, efisien dalam pemeliharaan, Kemampuan reproduksi dan memilki prosentase karkas yang unggul.
Masih bersumber pada makalah tersebut, program pemuliaan sapi Rancah akan berhasil apabila ada dukungan kebijakan dari pemerintah baik menyangkut program pemuliaan maupun peningkatkan infrastruktur.
Dihubungi terpisah melalui telepon selulernya, Senin (22/4),  Asisten II Pemkab Ciamis, Bidang Ekonomi Pembangunan, Drs. Sukiman, mengatakan, bahwa pengembangan Sapi Rancah akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat peternak .
“Dari kacamata mikro ekonomi akan meningkatkan daya beli yang otomatis akan meningkatkan kesejahteraan. Bukan saja di kalangan peternak, melainkan masyarakat secara umum, sisi tenaga angkutan, industry kuliner akan diberikan dampak pula oleh pengembangan sapi Rancah ini di kemudian hari,” pungkasnya.
Bak pepatah mengatakan “gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di sebrang lautan Tampak”. Inikah yang menjadi gambaran betapa selama ini “mind Set” kedigdayaan sapi impor mengungguli sapi lokal? Padahal “kilauan permata”sapi lokal Rancah, sebagai warisan nenek moyang tak kalah unggul. Ataukah sapi Rancah terendus karena sebuah upaya penyelamatan semata untuk plasma Nuftah yang hampir punah? Ataukah juga karena himpitan dan deraan derasnya sapi impor dan daging sapi impor yang kian menggila, sehingga membuat pemerintah mengambil kebijakan mengembangkan sapi lokal Rancah?
Maklum saja Sapi Simental, Limousin, Brahman, BX, PO, Aberden Angus, seolah akrab di telinga kita dibanding sapi Madura, Sapi Bali bahkan Sapi Rancah dan sapi Cimerak yang dikenal mempunyai Karkas diatas 60 persen, dengan ketahan terhadap penyakit yang tinggi malah justru terabaikan.
Sapi lokal Rancah dan sapi Cimerak mulai terendus kepermukaan, setidaknya para pengambil kebijakan di Pemprov Jabar dan Pemkab Ciamis, pada saat Pesta Patok tahun 2012, di Desa Wonoharjo Pangandaran, sepakat untuk menjadikan sapi lokal Rancah menjadi ikon sapi Jawa Barat.
Kala itu, Kepala Bapeda Propinsi, Deny Djuanda, yang mewakili Gubernur Jabar H. Ahmad Heryawan, mengatakan, bahwa Sapi Rancah merupakan salah satu plasma nutfah yang perlu dilestarikan. Untuk itu perlu upaya pengembangan secara maksimal. Nantinya, sapi lokal yang sampai saat ini lebih banyak diberi pakan alami tersebut, bakal menjadi salah satu ikon baru ternak Jabar.
Tak berhenti sampai disana, komitmen tersebut ditindak lanjuti oleh Dinas Peternakan Kabupaten Ciamis, dengan mengajukan sertifikasi pembibitan Sapi Rancah kepada Direktorat Pembibitan Ternak Departemen Pertanian RI, meski pun hingga kini tak diketahui hasil dari pengajuan tersebut.
“Tunggu proses saja dari pusat, yang jelas Pemprov sudah mendukung,” ungkap Kabid Produksi Disnak Ciamis, Yanto SPt, kepada HR. (DK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar